Minggu, 13 Februari 2011

KETIKA PAK KYAI NAIK HAJI DENGAN DANA APBD

(Based on True Story Pengelolaan Keuangan Daerah)

Pak Markum sehari-hari adalah pedagang di pasar , namun beliau juga menjadi imam masjid wilayah di sebuah kampung di Pemerintah Daerah X. Suatu daerah yang sering mendapat sebutan sebagai serambi Madinah. Beliau sangat dihormati oleh tetangga-tetangganya. Karena perannya itu pula seringkali masyarakat di kampungnya memanggil dengan sebutan pak kyai kepadanya, walaupun Pak Markum sendiri belum pernah naik haji. Seseungguhnya dari lubuk hati yang paling dalam, pak Markum pingin sekali untuk bisa memenuhi panggilan Allah untuk menjadi tamu Allah dengan naik haji. Tetapi, bagaimana mau naik haji, penghasilan sebagai pedagang hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari saja. Namun demikian, jika di banding dengan masyarakat di kampungnya, beliau masih bisa dibilang beruntung, karena masih banyak tetangga-tetangganya yang secara ekonomi jauh dari pas-pasan. Mereka untuk bisa makan sehari-hari saja masih kesulitan.
Pada suatu hari Pak Markum mendapat kabar dari Kepala Desa, bahwa dia akan diberangkatkan haji oleh Pemerintah Daerah X. Memang sudah empat tahun terakhir ini sejak tahun 2006, Pemda X mempunyai program memberangkatkan haji secara gratis kepada semua imam wilayah/masjid dan juga para tokoh masyarakat/karyawan/bidan/guru/penyuluh pertanian teladan di Pemda tersebut. Barangkali sebagai investasi bagi Kepala Daerah yang lagi menjabat dalam rangka Pilkada periode keduanya nanti (pikiran buruk penulis saja barangkali). Dan rupanya sekarang pak Markum dapat giliran, setelah 3 gelombang telah dilaksanakan 3 tahun terakhir. Maklum sebagai imam masjid kecil, sudah sepantasnya baru mendapat giliran belakangan. Tentunya setelah imam masjid agung dan masjid-masjid yang relatif dekat dengan ibukota kabupaten telah diberangkatkan haji 3 tahun terakhir.
Mendapat berita suka cita itu, pak Markum mengucap Alhamdulillah....... Sambil bergumam dia berkata, memang Allah memberikan rejeki dari arah yang tak diduga-duga. Singkat cerita setelah melewati latihan-latihan manasik haji, berangkatlah dia ke tanah suci dan kembali dengan selamat. Sehingga dia sekarang resmi mempunyai gelar Haji di depan namanya. Masyarakat sekarang menambah sebutan bagi pak markum, yaitu dengan sebutan pak Kyai Haji Markum. Ada rasa yang berbeda di dada pak Markum sekarang, setiap tetangga-tetangganya menyebut gelar itu kepadanya. Entah itu rasa bangga, rasa lebih dari lainnya. Masyarakat rasanya semakin menghormatinya setelah dia memiliki gelar haji. Di setiap kesempatan, pak Markum dan juga para imam wilayah lainnya yang telah diberangkatkan haji, selalu memuji-muji pemda daerah X tersebut, karena mengadakan program memberangkatkan haji kepada semua imam masjid di kabupaten tersebut. Pemerintah sangat memperhatikan para ulama. Pak Markum beranggapan bahwa, rupa-rupanya ketulusan dia menjadi imam masjid di kampungnya, sangat dihargai pemerintah daerahnya. Buktinya dia diberikan kesempatan diberangkatkan naik haji dengan dibiayai dengan dana pemerintah, dana APBD.
Bagaimana tidak ? Pemerintah Daerah X untuk 2 tahun saja yaitu tahun 2008 dan 2009 telah merealisasikan anggaran untuk program ini sebesar masing-masing sebesar Rp811.750.000,00 dan Rp427.353.600,00 atau totalnya sebesar Rp1.239.103.600,00, itu belum termasuk 2 tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 dan 2007. Dana tersebut hanya cukup untuk membiayai keberangkatan haji sebanyak 24 imam wilayah, 1 bidan teladan, 8 guru teladan, 1 tokoh masyarakat, 2 orang pemandu haji dan 1 penyuluh pertanian teladan. Atau hanya untuk 37 orang saja. Bagi Pak Markum, jumlah uang segitu tidak pernah dia memegangnya, bahkan membayangkannyapun tidak pernah terlintas dibenaknya.
Pada suatu hari Pak Markum dikejutkan dengan pemberitaan di koran lokal di daerah tersebut. Berita itu jadi headline dua surat kabar yang terbit di daerah tersebut. Dalam berita itu disebutkan bahwa Daerah X merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi jika dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di satu pulau di negeri tercinta ini.
Pikiran Pak Markum sejenak terbang ke keadaan dan kondisi tetangga-tetangga disekelilingnya. Pikirannya melayang ke kondisi keluarga Pak Cryo, Pak Bams, Pak Imam, Pak Andi, Pak Aan, Pak Joni, Pak Panji, Pak Bayu, Pak Tito, Pak Yuli, Ibu Ummu, Ibu Icha, Ibu Novi, Ibu Vira, Ibu Gladies, dst, dst...yang jauh dari kondisi berkecukupan. Pikiran Pak Markum sepertinya tidak berhenti-berhenti, terus muncul dipikirannya nama-nama tetangganya yang lain, selain yang telah melintas dipikirannya tadi, yang kondisi kehidupannya masih sangat sulit, bahkan untuk makan sekedar satu kali sehari saja masih susah. Kadang malah mereka tidak bisa makan untuk beberapa hari.
Hatinya terketuk...., bukankah nama-nama tetangganya, yang sering menyapanya dengan pak Kyai Haji itu tadi berada di daerah yang sama dengan dia tinggal ? Yang membedakan barangkali, mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan sangat-sangat sulit dan penuh pejuangan. Memeras keringat, membanting tulang dan itupun belum tentu menjamin bisa untuk makan sehari-hari mereka ? Barangkali mereka inilah sebagian kecil diantaranya yang dimaksud di berita di surat kabar itu...pikir Pak Markum.
Pikiran Pak Markum kemudian beralih ke Pemerintah Daerah X tersebut. Pikirannya bertanya-tanya, dimana peran pemerintah daerah X tersebut untuk membantu mereka, para keluarga dan orang-orang melarat dan hidup dibawah garis kemiskinan. Jangankan bicara mengenai rumah, untuk makan sehari-hari saja, mereka masih susah. Dimana program-program pemda X untuk para rakyatnya yang miskin dan melarat ? Sepengetahuan Pak Markum program yang terkait langsung dengan tetangga-tetangganya yang kesulitan tadi, yang notabene rakyat-rakyat yang miskin dan melarat, sebagian besar berasal dari pemerintah pusat, seperti BLT, PNPM Mandiri, Jamkesmas, dll. Sedikit sekali program daerah X yang bersentuhan langsung dengan tetangga-tetangganya yang miskin dan melarat tersebut, gumam Pak Markum. Barangkali hanya program rumah layak huni saja yang berasal dari program pemda X tersebut, itupun dalam pelaksanaannya menurut Pak Markum masih ada ketidakadilan. Bagaimana mau adil, lha yang diutamakan pertama kali menerima bantuan untuk membangun rumah juga para kepala dusun. Tidak untuk para tetangganya yang benar-benar membutuhkan rumah layak huni tersebut.
Kemudian Pak Markum merefleksi lontaran pujian-pujiannya pada waktu-waktu sebelumnya kepada pemda X tentang bagaimana pemda X tersebut sangat memperhatikan seperti dirinya, atau para imam-imam masjid lainnya dengan program memberangkatkan haji semuanya dengan gratis (walaupun sesungguhnya dengan dana APBD). Membangunkan masjid-masjid dengan megah dan agung, walaupun sesungguhnya dana yang direalisasikan sampai melampaui anggaran yang telah ditetapkan dalam APBD,. Seakan-akan program-program yang sebelumnya dia anggap baik dari Pemda X, jadi hilang seketika. Bukankah ternyata masih banyak tetangganya/rakyat di daerah X tersebut yang jauh lebih membutuhkan dana-dana atau program-program pemerintah daerah yang bisa mengangkat tetangga-tetangganya dari dasar bawah garis kemiskinan. Ataukah memang Pemda X tersebut lebih mementingkan program-program yang lebih ke penampilan fisik dan prestise para tokoh-tokoh masyarakatnya dan para imam-imam masjidnya dan tempat-tempat ibadahnya. Daripada pembangunan rohani, dan pengentasan masyarakatnya dari kesulitan-kesulitan hidup untuk bisa segera meningkat kesejahteraannya.
Demikian pikiran-pikiran Pak Markum terus bergelut. Tiba-tiba pikiran Pak Markum teringat, bukankah syarat paling utama naik haji adalah wajib bagi yang mampu, bukan bagi para tokoh masyarakat/imam masjid/wilayah atau bagi pegawai-pegawai teladan. Baik mampu secara mental dan terutama adalah mampu secara ekonomi. Namun tidak halnya barangkali bagi pejabat di daerah X, pikir Pak Markum. Rupanya ada syarat lain yang penting juga untuk bisa naik haji, apalagi dengan gratis!, yaitu dengan menjadi tokoh masyarakat/adat atau imam masjid di daerah X tersebut. Dan syarat ini telah ditetapkan oleh para pemangku kekuasaan di daerah X tersebut, baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Karena merekalah yang mengusulkan dan menetapkan anggaran untuk memberangkatkan haji para tokoh masyarakat/adat dan juga imam masjid di daearah X tersebut dengan dana APBD.
Akhirnya, Pak Markumpun kembali berfikir dan mohon ampun kepada Allah. Karena sesungguhnya pada saat menerima kabar bahwa dia akan diberangkatkan haji oleh pemda X dulu, dia berfikir bahwa itu merupakan rejeki/anugerah dari Allah. Dia menganggap itu merupakan rejeki yang tidak disangka-sangka darimana arahnya. Dia lupa bahwa sesungguhnya dana untuk hajinya itu seharusnya bukan sepantasnya untuk dirinya, atau untuk para tokoh-tokoh masyarakat yang lain. Karena secara ekonomi mereka jauh lebih baik dibanding tetangga-tetangganya yang miskin dan melarat, yang juga merupakan jemaah-jemaahnya. Seharusnya pada waktu itu dia berfikir bahwa sebenarnya kabar dia akan diberangkatkan haji dengan dana APBD tersebut merupakan bentuk ujian dari Allah, dan bukannya merupakan anugerah. Ujian kepada dirinya, apakah dia akan mementingkan dirinya atau mementingkan jemaahnya. Walaupun secara sekilas, seakan-akan dia membuktikan kecintaannya kepada Allah, dengan datang ke rumahNYA, namun sesungguhnya Pak Markum berprasangka bahwa “Allah tidak akan senang akan pilihannya itu, karena dengan “mengkorbankan dan mengambil dana rakyat miskin dan melarat para tetangga-tetangganya, para jemaahnya.
Untuk menghilangkan rasa bersalahnya, Pak Markum menghentikan membaca berita di surat kabar itu dan berniat meletakan kembali di meja. Namun sebelum itu terjadi, dia sempat sekilas membaca, satu judul berita di satu kolom kecil dihalaman surat kabar yang sama, yang tertulis bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan menemukan penyimpangan dalam pengelolaan dana program memfasilitasi haji bagi para tokoh masyarakat dan imam wilayah daerah X. Yang diantaranya menyebutkan bahwa BPK menemukan potensi penyalahgunaan dana sebesar Rp213.123.448,00 dan adanya sisa dana yang belum disetor ke kas daerah sebesar Rp46.551.048,00. Walaupun dalam berita tersebut BPK tidak menyebutkan adanya kerugian daerah untuk biaya memberangkatkan haji bagi para tokoh masyarakat dan para imam wilayah/masjid, karena telah dianggarkan dalam Perda APBD. Namun tetap saja rasa bersalah Pak Markum tidak bisa hilang, karena dia merasa telah mengambil jatah orang-orang miskin yang bukan merupakan haknya. Astafirlullah...sebut Pak Markum dengan rasa bersalah dan menyesal yang mendalam...

KISAH INI BUKAN SARA ATAU INGIN MENDISKREDITKAN UMAT TERTENTU. Kisah ini terinspirasi oleh kisah nyata program haji yang diselenggarakan oleh satu pemerintah daerah di negeri tercinta ini. Namun untuk nama dan peristiwa Pak Markum hanya fiksi belaka, sekedar supaya bisa menuangkan cerita penyimpangan pengelolaan keuangan daerah dengan sedikit lebih menarik dan tidak membosankan. Selanjutnya adalah sebagai bahan instropeksi kita dalam menyikapi permasalahan penyimpangan pengelolaan keuangan tersebut ? Terima Kasih, semoga bisa bermanfaat. Amin...

1 komentar: